Mata Hati dan Cerita Cinta Serta puisi dan Syair cinta

Cerita Pendek Tentang Pengorbanan Cinta

Perkenalkan nama aku ARI , panggil aja aku dengan sebutan Aritopan itu nama kerenku hehehehe, Aku dilahirkan di sebuah dusun Yang sangat jauh dari keramaian kota,terpencil. Hari demi hari aku lalui, orang tuaku membajak tanah kering kuning dan terkadang pula ia merantau kejakarta untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sekeluarga. Aku mempunyai seorang kakak, dua tahun lebih tua dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah Topi, Aku mencuri 20 ribu perak. dari Dompet ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat kakaku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.”Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!” Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, kakaku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!”

Tongkat panjang itu menghantam punggung kakaku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. sudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa yang akan datang?" kata ayah sambil marah-marah"  … Kamu layak dipukul sampai mati! mau jadi apa kamu besok klo dah gede!”

Malam itu, setelah kejadian itu ibu dan aku memeluk kaka' dalam pelukan kami. yang Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata sedikitpun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Kakak'ku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Dik, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang Kakak'u  ketika ia melindungiku. Waktu itu, Kakak'ku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika Kakak'ku berada pada tahun terakhirnya di SMA, ia
lulus untuk masuk ke Universita. Pada saat yang sama, saya diterima SMA negri. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir ,  Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus Pak?” kata ibu.

Saat itu juga, kakak'ku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku.” Ayah mengayunkan tangannya dan memukul kakaku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang lemah? Bahkan jika saya mesti mengemis di jalanan, saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka kakaku yang membengkak, dan berkata, “kita harus meneruskan sekolah; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.” Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan sekolah lagi.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, kakak'ku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “dik, kamu sebagai laki laki harus meneruskan sekolahmu. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang untyuk biaya kamu”

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu,  kakak'ku berusia 20 tahun. Aku 18.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang Kakak'ku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!”

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat Kakaku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah Kakaku?” Dia menjawab,tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah kakakmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari Kakaku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah Kakaku apa pun juga! Kamu adalah kakaku bagaimana pun penampilanmu…”

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah topi. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “ini hadiah dari kakak untukmu. Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik kakaku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 23. Aku 21.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari Kesengan di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah kakakmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”

Aku masuk ke dalam ruangan kecil kakak'ku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, kakakku 25. Aku berusia 23.

setelah Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah
kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga adiku dngan baik dan penuh keikhlasan.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan hatiku. . Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah kakakku .”
Loading...

0 komentar:

Post a Comment

Post Terkait